Aplikasi video pendek TikTok telah membuat langkah maju yang signifikan dalam memperluas ambisi e-commerce-nya. Perusahaan tersebut telah mengonfirmasi bahwa saat ini sedang dalam pembicaraan tahap awal dengan regulator Indonesia untuk mendapatkan lisensi pembayaran di negara tersebut. Langkah ini diambil oleh TikTok untuk memperkuat posisinya di pasar besar ini di tengah meningkatnya pengawasan di AS dan wilayah lainnya.
CEO TikTok, Shou Zi Chew, telah mengumumkan pada bulan Juni rencana perusahaan untuk berinvestasi miliaran dolar di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Investasi potensial ini bertujuan untuk memanfaatkan potensi besar dari ekonomi digital di kawasan tersebut.
Sumber-sumber yang akrab dengan masalah ini mengungkapkan bahwa TikTok, sebuah raksasa teknologi Tiongkok yang dimiliki oleh ByteDance, telah terlibat dalam diskusi dengan bank sentral Indonesia. Permohonan untuk lisensi pembayaran dilaporkan diterima dengan baik. Namun, karena negosiasi tersebut bersifat rahasia, sumber-sumber tersebut menolak untuk mengungkapkan identitas mereka.
Lisensi pembayaran akan memberikan kesempatan bagi TikTok untuk menghasilkan pendapatan dari biaya transaksi dan menempatkannya dalam persaingan langsung dengan raksasa e-commerce mapan di Asia Tenggara, seperti Shopee milik Sea dan Lazada milik Alibaba.
Dengan 125 juta pengguna aktif bulanan di Indonesia, angka pengguna TikTok di negara tersebut sebanding dengan jumlah pengguna di Eropa dan tidak jauh dari AS, di mana TikTok memiliki 150 juta pengguna. Selain itu, transaksi e-commerce di Indonesia mencapai hampir 52 miliar dolar AS pada tahun sebelumnya, dengan 5% dari volume tersebut terjadi di platform TikTok, terutama melalui siaran langsung.
Meskipun TikTok terus tumbuh dan berdiversifikasi layanannya, perusahaan ini juga menghadapi tantangan di berbagai pasar. Di AS, kekhawatiran tentang potensi pengaruh pemerintah Tiongkok telah menyebabkan larangan penggunaan aplikasi ini pada perangkat pemerintah oleh Gedung Putih dan beberapa pemerintah negara bagian. Namun, TikTok telah berulang kali menyatakan bahwa data pengguna AS tidak dibagikan dengan pemerintah Tiongkok dan telah mengimplementasikan langkah-langkah yang kuat untuk melindungi privasi dan keamanan pengguna.
Menghadapi kekhawatiran tentang banjirnya pasar Indonesia dengan impor buatan Tiongkok, TikTok telah memutuskan untuk tidak meluncurkan platform e-commerce-nya untuk barang-barang buatan Tiongkok di Indonesia. Namun, memperoleh lisensi pembayaran Indonesia kemungkinan akan membuka peluang baru bagi kreator dan penjual lokal di platform tersebut.
Ambisi e-commerce TikTok tidak hanya terlihat di Asia Tenggara, tetapi juga di luar wilayah tersebut. Perusahaan ini berencana untuk meluncurkan platform e-commerce di Amerika Serikat untuk menjual barang-barang Tiongkok, yang akan memperluas jangkauan globalnya.
Saat TikTok menghadapi kompleksitas berbagai pasar dan lingkungan regulasi, perusahaan ini bertujuan untuk tetap patuh dengan regulasi baru, termasuk Digital Services Act (DSA) yang akan segera diberlakukan di Uni Eropa. Perusahaan ini telah memperkenalkan beberapa fitur untuk meningkatkan kepatuhannya terhadap DSA, termasuk langkah-langkah untuk melindungi pengguna dari konten ilegal dan membatasi iklan yang ditargetkan untuk pengguna antara usia 13 dan 17 tahun.
Secara keseluruhan, upaya TikTok untuk mendapatkan lisensi pembayaran di Indonesia dan ekspansinya ke bidang e-commerce menunjukkan komitmennya untuk memanfaatkan lanskap digital yang berkembang pesat di Asia Tenggara dan di berbagai belahan dunia.